Adab Bertetangga Menurut KUHP dan Syari'at Islam

Secara hukum, aturan mengenai tata cara bertetangga tercantum dalam KUH Pidana dan KUH Perdata. Pada Pasal 593 KUH Pidana secara tegas memberikan ancaman kurungan bagi siapapun yang membuat gaduh atau riuh, sehingga ketenteraman di sekitar menjadi terganggu.

Tak hanya itu, ada pula Pasal 671 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa: Jalan setapak, lorong atau jalan besar milik bersama dan beberapa tetangga digunakan untuk jalan keluar bersama, tidak boleh dipindahkan, dirusak, atau dipakai untuk keperluan lain dari tujuan yang telah ditetapkan kecuali atas izin semua yang berkepentingan.

Pada Pasal 1365 KUH Perdata pun menjelaskan peraturan bertetangga. Disebutkan bahwa:

Tetangga yang merasa dirugikan akibat perbuatan tetangganya mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum. Dalam doktrin, perbuatan melawan hukum mengandung unsur harus ada perbuatan (positif atau negatif), harus melawan hukum, ada kerugian, ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang timbul, dan ada kesalahan.

Syariat Islam juga mengabakarkan kepada kita ancaman terhadap orang yang enggan dan lalai dalam berbuat baik terhadap tetangga. Bahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menafikan keimanan dari orang yang lisannya kerap menyakiti tetangga. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabdaL

وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ . قِيْلَ: وَ مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِيْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

Demi Allah, tidak beriman, tidak beriman, tidak beriman. Ada yang bertanya: ‘Siapa itu wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: ‘Orang yang tetangganya tidak aman dari bawa’iq-nya (kejahatannya)” (HR. Bukhari 6016, Muslim 46)

Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: “Bawa’iq maksudnya culas, khianat, zhalim dan jahat. Barangsiapa yang tetangganya tidak aman dari sifat itu, maka ia bukanlah seorang mukmin. Jika itu juga dilakukan dalam perbuatan, maka lebih parah lagi. Hadits ini juga dalil larangan menjahati tetangga, baik dengan perkataan atau perbuatan. Dalam bentuk perkataan, yaitu tetangga mendengar hal-hal yang membuatnya terganggu dan resah”.

Beliau juga berkata: ”Jadi, haram hukumnya mengganggu tetangga dengan segala bentuk gangguan. Jika seseorang melakukannya, maka ia bukan seorang mukmin, dalam artian ia tidak memiliki sifat sebagaimana sifat orang mukmin dalam masalah ini” (Syarh Riyadhis Shalihin, 3/178)

Bahkan mengganggu tetangga termasuk dosa besar karena pelakunya diancam dengan neraka. Ada seorang sahabat berkata:

يا رسول الله! إن فلانة تصلي الليل وتصوم النهار، وفي لسانها شيء تؤذي جيرانها. قال: لا خير فيها، هي في النار

“Wahai Rasulullah, si Fulanah sering shalat malam dan puasa. Namun lisannya pernah menyakiti tetangganya. Rasulullah bersabda: ‘Tidak ada kebaikan padanya, ia di neraka’” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak 7385, dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahih Adabil Mufrad 88)

Sebagaimana Imam Adz Dzahabi memasukan poin ‘mengganggu tetangga’ dalam kitabnya Al Kaba’ir (dosa-dosa besar). Al Mula Ali Al Qari menjelaskan mengapa wanita tersebut dikatakan masuk neraka: “Disebabkan ia mengamalkan amalan sunnah yang boleh ditinggalkan, namun ia malah memberikan gangguan yang hukumnya haram dalam Islam

(Mirqatul Mafatih, 8/3126)

Sumber : Grup WA
posted from Bloggeroid
Deni Kurnia
Deni Kurnia Seorang Pembelajar, tak Lebih