Benarkah Khitbah atau Pertunangan Itu Setengahnya Nikah?


Selamat bagi Anda yang sudah meminang (meng-khitbah) seorang perempuan, yang itu pertanda keseriusan Anda sebagai lelaki untuk mengikat dia yang Anda cintai ke jenjang ikatan yang suci yakni pernikahan, diawali dengan prosesi tunangan (khitbah). 

Namun sebagai muslim yang harus terikat dengan hukum syara', tentulah Anda harus memahami apa sebenarnya hakikat khitbah itu, interaksi apa saja yang diperbolehkan dan mana yang dilarang. Pemahaman akan semua ini, insya Allah akan menyelamatkan Anda dari dosa interaksi yang tidak diperbolehkan namun dijalankan. 

In sya Allah uraian berikut ini akan sedikitnya memberi gambaran seputar khitbah dan interaksi sesudahnya. 

Pengertian Khitbah


Ikatan khitbah lebih di kenal dalam Islam, sementara dalam lingkungan masyarakat dikenal sebagai ikatan pertunangan. Ada salah dlam pemahaman yang menyebar di khalayak ramai. Yaitu ketika tunangan dianggap sebagai setengah menikah. Dalam artian mereka sudah seperti suami istri. Boleh pergi berduaan dan lain sebagainya.

Namun, sebenarnya itu salah. Dalam islam masih ada batasan meskipun setelah di khitbah. Khitbah adalah janji untuk menikah, tidak lebih dari itu.

Jadi, secara syar’i mereka bukanlah setengah resmi sebagai suami isteri. Akan tetapi, hanyalah dua pihak yang saling berjanji untuk melangsungkan pernikahan. Secara syar’i masih terbuka peluang bagi keduanya untuk memutuskan atau tidak melanjutkan ke pernikahan.

Interaksi yang Boleh dan yang Dilarang setelah Khitbah


Laki-laki dan perempuan yang sudah terikat ikatan khitbah, dalam pandangan hukum syara adalah masih orang asing (ajnabi) satu terhadap yang lain. Maka, hukum syara yang berlaku dalam interaksi keduanya tetap hukum-hukum interaksi yang berlaku atas orang asing (bukan mahram).

Nmaun, ada satu yang membedakannya dengan orang asing. Yaitu ikatan khitbah yang sudah terjalin. Adapula hukum yang berlaku atas keduanya adalah tidak boleh berkhalwat.

Seperti dalam sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, 

Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali bersama wanita itu ada mahramnya.” (HR. Bukhari Muslim)

Larangan tersebut bersifat tegas dan bersifat umum mencakup mereka yang terjalin ikatan khitbah. Karena ikatan khitbah tidak menimbulkan pengecualian untuk mereka dari keharaman berkhalwat.

Meski laki-laki dan perempuan yang terjalin ikatan khitbah secara syar’i dibolehkan untuk bertemu, tetapi tetap tidak boleh berkhalwat. Maka, pertemuan di antara keduanya harus disertai kehadiran orang ketiga, bisa salah satu mahram si perempuan dari keluarga atau sebaliknya.

Dalam proses ta’aruf sendiri, pasti harus ada interaksi. Interaksi sendiri bisa dengan pertemuan secara langsung dan bisa juga tanpa pertemuan.

Nah, jika terjadi pertemuan antara keduanya, karena keduanya secara syar’i adalah bukan mahram. Maka, hal berikut yang harus dilakukan, tidak boleh khalwat, keduanya harus tetap menutup aurat masing-masing terhadap orang asing.

Wanita pun tidak boleh bertabarruj, serta perlu ditegaskan keduanya tidak boleh memandang yang lain dengan disertai syahwat. Dalam berta’aruf ini, keduanya tidak boleh melakukan interaksi sebagaimana layaknya suami isteri yang berbentuk rayuan atau yang mendekati itu.

Sama halnya ketika interaksi dilakukan tanpa adanya pertemuan. Seperti via telepon, sms, surat, email dan sebagainya. Interaksi demikian boleh asalkan ada alasan penting mereka saling berinteraksi, semisal memberikan materi untuk rencana persiapan pernikahan dan materi yang diperbolehkan lainnya.

Karena keduanya masih berstatus sama-sama orang asing dan bukanlah suami isteri, maka tidak boleh satu sama lain saling merayu, bermanja-manja, atau bentuk pembicaraan sejenis lainnya. 

Demikian pembahasan singkat abufadli.com tentang hakikat khitbah dan interaksi sesudahnya. Semoga bermanfaat. 

Wallahu’alam. 

Sumber: Buku ‘Risalah Khitbah’, Yahya Abdurrahman, Al Azhar Press. Materi tambahan dari Ruang Muslimah (RuMu
Deni Kurnia
Deni Kurnia Seorang Pembelajar, tak Lebih