Hukum Mengarang Cerita Fiksi dalam Islam: Perspektif Ulama Kontemporer

Hukum Mengarang Cerita Fiksi dalam Islam: Perspektif Ulama Kontemporer. Artikel ini diolah dari tanya jawab bersama Ustadz Shiddiq Al Jawi, tanpa menghilangkan esensi, namun juga insyaAlloh terlepas dari plagiarisme. 

Dalam agama Islam, masalah hukum mengenai mengarang cerita fiksi, seperti cerpen dan novel, telah menjadi topik diskusi di kalangan ulama kontemporer. Para ulama memiliki pendapat yang berbeda terkait masalah ini. 

Sebagian mengharamkannya dengan alasan menciptakan kebohongan, sedangkan yang lain membolehkannya dengan beberapa syarat tertentu. Artikel ini akan menjelaskan pandangan berbagai ulama mengenai hukum mengarang cerita fiksi dalam Islam.

Hukum Mengarang Cerita Fiksi dalam Islam: Perspektif Ulama Kontemporer
Buku Cerita Fiksi

1. Pandangan yang Mengharamkan

Beberapa ulama mengharamkan mengarang cerita fiksi dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk dalam menciptakan kebohongan (al-kadzib). Mereka berpendapat bahwa Al-Qur'an, Hadis Nabi, dan cerita-cerita lain yang menggambarkan fakta-fakta sudah mencukupi sebagai sumber pelajaran dan nasehat yang baik. Pendapat ini didasarkan pada Kitab Fatawa Lajnah Da`imah (12/187).

2. Pandangan yang Membolehkan dengan Syarat

Sebagian ulama membolehkan mengarang cerita fiksi, seperti Syaikh Ibnu Utsaimin, dengan syarat bahwa isi cerita fiksi tersebut menggambarkan hal-hal yang boleh (jaiz) menurut syariah Islam. 

Mereka menekankan pentingnya tidak menggambarkan hal-hal yang diharamkan, serta menyampaikan dengan jelas kepada pembaca bahwa yang disajikan adalah fiksi, bukan kenyataan. Pandangan ini mencakup syarat-syarat tertentu untuk menghindari kebohongan atau keharaman dalam karya fiksi.

3. Dalil yang Membolehkan Mengarang Cerita Fiksi

Pendapat yang membolehkan mengarang cerita fiksi didasarkan pada dalil-dalil dari As-Sunnah. Dalam salah satu hadis yang menjelaskan bahwa orang yang terjerumus dalam hal-hal yang syubhat (tak tegas halal atau haramnya) dapat jatuh ke dalam keharaman, Rasulullah SAW memberikan perumpamaan penggembala yang hampir masuk ke dalam tanah larangan. 

Dalam konteks ini, para ulama berpendapat bahwa membuat perumpamaan dalam rangka memperjelas suatu perkara maknawi dengan menggunakan perumpamaan yang konkret adalah boleh. Hal ini dapat membantu memahami suatu konsep yang lebih baik.

Syarat-syarat untuk Mengarang Cerita Fiksi

Agar tidak terjatuh dalam kebohongan atau keharaman, mengarang cerita fiksi dalam Islam diikat oleh dua syarat utama:

a. Menyampaikan bahwa cerita tersebut adalah fiksi

Pengarang cerita fiksi wajib menyampaikan kepada pembacanya, baik secara langsung maupun secara tersirat, bahwa apa yang diucapkan atau ditulisnya adalah cerita fiksi atau khayalan, bukan kenyataan. 

Syarat ini didasarkan pada dalil-dalil AlQur'an dan Al-Hadis yang mengharamkan seorang Muslim untuk berbohong. Penting bagi pengarang cerita fiksi untuk memastikan bahwa pembaca memahami bahwa karya tersebut adalah karya imajinasi belaka.

b. Kesesuaian dengan Aqidah dan Syariah Islam

Kandungan cerita fiksi tidak boleh bertentangan dengan Aqidah (keyakinan) atau Syariah Islam. Cerita fiksi sebaiknya berisi pesan moral yang sesuai dengan ajaran Islam, seperti ajakan untuk ber-amar ma'ruf nahi munkar (mendorong kebaikan dan mencegah kemungkaran), mendorong berbakti kepada orang tua (birrul walidain) , jujur, berani untuk berjihad di jalan Allah, atau melawan penguasa yang zalim. 

Sebaliknya, cerita yang mengandung pemikiran kufur seperti liberalisme, sekularisme, demokrasi, nasionalisme, pluralisme, dan sejenisnya tidak dianjurkan. Kisah-kisah cinta atau cabul yang jauh dari akhlak Islami juga harus dihindari.

Pendapat yang membolehkan mengarang cerita fiksi dengan syarat-syarat tersebut dianggap lebih kuat. Dalam membangun argumen mereka, ulama merujuk pada dalil-dalil Al-Qur'an dan Al-Hadis yang mendorong kebenaran, kejujuran, dan penyebaran pesan moral yang baik.

Kesimpulan Hukum Mengarang Cerita Fiksi

Dalam Islam, hukum mengarang cerita fiksi menjadi perdebatan di kalangan ulama kontemporer. Beberapa ulama mengharamkannya karena dianggap menciptakan kebohongan, sementara yang lain membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu. 

Pendapat yang membolehkan dengan syarat-syarat tersebut dianggap lebih kuat, dengan persyaratan utama adalah menyampaikan bahwa cerita tersebut adalah fiksi dan memastikan kandungannya tidak bertentangan dengan Aqidah dan Syariah Islam. Dalam mengarang cerita fiksi, penting untuk memperhatikan nilai-nilai moral dan pesan yang sesuai dengan ajaran Islam. 

Dengan memenuhi syarat-syarat ini, seorang Muslim dapat mengekspresikan kreativitas dalam mengarang cerita fiksi sambil tetap berpegang pada nilai-nilai agama.