Saat Suami Lemah Urusan Nafkah, Haruskah Istri Bersabar?
Banyak rumah tangga goyah tersebab urusan nafkah. Penyebabnya bisa banyak faktor. Kurangnya pemahaman tentang hak dan kewajiban suami istri, lapangan kerja yang lebih ramah perempuan daripada laki-laki, ditambah tak adanya aturan yang mengikat para suami untuk sungguh-sungguh mencari nafkah. Semua faktor itu bisa jadi penyebab banyak rumah tangga yang tidak ideal.
Istri terpaksa turut menanggung beban nafkah keluarga. Bahkan tak jarang para suami malah turut menikmati tanpa menunjukkan usaha keras menjemput rezeki. Akhirnya para istri capek badan, capek hati. Dalam kondisi ini, demi mempertahankan rumah tangga apakah istri hanya boleh bersabar?
Ada kalanya, jalan terbaik bagi istri adalah sabar. Tapi ingat, sabar itu atas ujian bukan atas kezaliman/kelalaian. Sabar dilakukan untuk perubahan agar kelalaian itu bisa ditinggalkan oleh pasangan kita. Dalam hal ini, bukan sabar nrimo aja sikap suami. Tapi istri harus menasihati dalam rangka menormalisasi tugas suami.
Di sisi lain kita pun tidak memungkiri bahwasanya ada pahala besar bagi istri yang ikhlas bersedekah membantu kewajiban suami. Dengan catatan, istri tak boleh lalai terhadap kewajibannya gara-gara membantu kewajiban suami. Dan yang lebih tidak diinginkan adalah jika bantuan istri justru memandulkan upaya suami dalam usaha mencari nafkah ini. Ya, kadang adrenalin suami untuk menjemput rezeki tidak terbangkitkan karena kehebatan seorang istri.
“Ah dari pada ribet dan lambat, udahlah mending dikerjain sendiri saja. Cepat dan langsung beres.”
“Daripada susah-susah nyuruh suami cari kerja tambahan, belum tentu dia ngerti dan mau. Mending saya aja yang kerja.”
Benar, memilih mengambil alih peran suami dengan niat sedekah dan biar gak ribet memang tidak sepenuhnya salah. Hanya saja, mengupayakan suami mampu memaksimalkan potensinya sebagai pencari nafkah adalah lebih utama dan pertama yang harus dilakukan.
Jika suami tidak ada uzur syar’i, semisal lemah fisik dan mentalnya, maka pelalaian nafkah oleh mereka adalah dosa. Saat kita membiarkannya, kita pun turut berdosa. Dalam hal ini, bisa jadi kita tidak menyadari bahwa kadang-kadang keberadaan kita sebagai perempuan yang serba bisa lah yang secara tidak langsung mengubur potensi suami.
Saat susu buat anak habis, istri kreatif nyambi jual online. Saat sewa kontrakan ditagih pemiliknya, istri abra-kadabra langsung dapat pinjaman seketika. Saat uang SPP anak nunggak, istri gesit lobi sana-sini dan raport anak pun bisa diambil. Semua selesai oleh istri. Potensi suami jadi tidak tergali.
Saya berani bilang begini karena pernah mengalami. Meski kasus tak serupa. Saya (lebih tepatnya kami) pernah punya toko pakaian muslim. Saya merasa mampu menangani semuanya sendiri. Saya pikir, ini bukan bidang suami. Pasti beliau gak bisa ngurus yang beginian. Beliau pun tak tahu menahu urusan toko.
Seiring waktu, saya merasa kewalahan. Emosi saya ke anak-anak bermasalah. Mau tutup sayang, mau lanjut saya takut banyak melalaikan kewajiban lain. Mau diserahkan ke suami, saya ketar ketir.
“Bisa ngadat ni usaha, secara gak ada peka-pekanya suami urusan beginian. Apalagi kalau melihat kesibukan beliau, yang ada aja hampir kurang waktu. Gimana bisa mengelola toko ini.” Pikir saya waktu itu.
Tapi kondisi membuat saya harus melepas urusan toko. Pelan-pelan saya membujuk hati agar yakin sepenuhnya bahwa rezeki itu sudah diatur. Kalau memang ngadat ya berarti memang sampai di situ saja rezeki lewat toko. Saya luruskan niat, lillah. Tak disangka ternyata semua tetap baik-baik saja di tangan suami. Meski tak langsung sempurna seperti sebelumnya.
Setelah itu, saya masih tetap bantu-bantu. Khususnya saat memilihkan model pakaian yang dibeli. Bedanya, saya menjadi lebih enjoy daripada sebelumnya. Seiring waktu dan kepercayaan yang saya berikan, suami pun semakin mahir mengelola toko.
Demikian lah dalam urusan mencari nafkah. Bukan tidak boleh istri membantu suami. Tapi sesekali biarkan masalah itu mereka yang hadapi. Toh secara hukum syara itu memang kewajiban mereka.
Biarkan mereka yang memikirkan kekurangan uang susu, sewa rumah, SPP yang nunggak, dll. Niscaya kondisi kepepet akan memunculkan potensi kelelakian mereka. Bukankah kita telah lama mengenal istilah "The power of kepepet"?
Jikapun sebagai istri kita mau bantu, berikanlah saran bukan langsung kita yang lakukan. Memotivasi dan merangsang suami untuk peka melihat peluang usaha adalah lebih utama, dibandung menggantikan langsung tugasnya.
Tapi di sini mutlak seorang istri harus nyetok sabar berlipat. Kadang motivasi gak langsung bikin mereka bereaksi. Kadang peluang yang kita sampaikan tak langsung mereka terima. Siap-siap aja kalau mereka jawab, “Ah ini bukan bidang saya, saya gak bisa kerja beginian.”
Atau setelah mereka melakukan ternyata hasilnya jauh dari yang kita harapkan. Mungkin kehidupan kita akan terjun payung dulu dalam beberapa waktu. Bersabarlah. Sambil terus apresiasi setiap usaha yang dilakukan suami.
Bukankah semua ahli pun berawal dari ketidaksempurnaan. Sebagai istri kita jangan keburu berputus asa. Teruslah memotivasi, mendampingi, dan mengapresiasi. Yakinlah suatu saat nanti, para suami akan mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
Meski akhirnya kita pun secara sukarela tetap ingin membantu, tentu dengan perasaan berbeda. Antara sebagai pelaku utama dan hanya membantu sebisanya. Tulang rusuk tak boleh berubah menjadi tulang punggung. Insyaallah rumahtangga kita akan sehat dan penuh berkat.
Jadi sekali lagi, gunakan sabar kita pada tempatnya. Sabar mengembalikan peran suami lebih utama ketimbang sabar menghadapi kelalaian suami. Entah mereka sengaja atau tidak. Bukankan salah satu tugas utama istri adalah menjaga suami dari kelalaiannya?
Jika tak berhasil juga, maka barulah jurus terakhir kita keluarkan. Bersabar dan ikhlas menjalani apa adanya, sembari terus menadah tangan memohon pada-Nya, menanti keajaiban dari yang Maha Penentu Segalanya. Semoga Allah berikan para istri kekuatan dan kesabaran berlipat ganda. Wallahu alam
Istri terpaksa turut menanggung beban nafkah keluarga. Bahkan tak jarang para suami malah turut menikmati tanpa menunjukkan usaha keras menjemput rezeki. Akhirnya para istri capek badan, capek hati. Dalam kondisi ini, demi mempertahankan rumah tangga apakah istri hanya boleh bersabar?
Ada kalanya, jalan terbaik bagi istri adalah sabar. Tapi ingat, sabar itu atas ujian bukan atas kezaliman/kelalaian. Sabar dilakukan untuk perubahan agar kelalaian itu bisa ditinggalkan oleh pasangan kita. Dalam hal ini, bukan sabar nrimo aja sikap suami. Tapi istri harus menasihati dalam rangka menormalisasi tugas suami.
Di sisi lain kita pun tidak memungkiri bahwasanya ada pahala besar bagi istri yang ikhlas bersedekah membantu kewajiban suami. Dengan catatan, istri tak boleh lalai terhadap kewajibannya gara-gara membantu kewajiban suami. Dan yang lebih tidak diinginkan adalah jika bantuan istri justru memandulkan upaya suami dalam usaha mencari nafkah ini. Ya, kadang adrenalin suami untuk menjemput rezeki tidak terbangkitkan karena kehebatan seorang istri.
“Ah dari pada ribet dan lambat, udahlah mending dikerjain sendiri saja. Cepat dan langsung beres.”
“Daripada susah-susah nyuruh suami cari kerja tambahan, belum tentu dia ngerti dan mau. Mending saya aja yang kerja.”
Benar, memilih mengambil alih peran suami dengan niat sedekah dan biar gak ribet memang tidak sepenuhnya salah. Hanya saja, mengupayakan suami mampu memaksimalkan potensinya sebagai pencari nafkah adalah lebih utama dan pertama yang harus dilakukan.
Jika suami tidak ada uzur syar’i, semisal lemah fisik dan mentalnya, maka pelalaian nafkah oleh mereka adalah dosa. Saat kita membiarkannya, kita pun turut berdosa. Dalam hal ini, bisa jadi kita tidak menyadari bahwa kadang-kadang keberadaan kita sebagai perempuan yang serba bisa lah yang secara tidak langsung mengubur potensi suami.
Saat susu buat anak habis, istri kreatif nyambi jual online. Saat sewa kontrakan ditagih pemiliknya, istri abra-kadabra langsung dapat pinjaman seketika. Saat uang SPP anak nunggak, istri gesit lobi sana-sini dan raport anak pun bisa diambil. Semua selesai oleh istri. Potensi suami jadi tidak tergali.
Saya berani bilang begini karena pernah mengalami. Meski kasus tak serupa. Saya (lebih tepatnya kami) pernah punya toko pakaian muslim. Saya merasa mampu menangani semuanya sendiri. Saya pikir, ini bukan bidang suami. Pasti beliau gak bisa ngurus yang beginian. Beliau pun tak tahu menahu urusan toko.
Seiring waktu, saya merasa kewalahan. Emosi saya ke anak-anak bermasalah. Mau tutup sayang, mau lanjut saya takut banyak melalaikan kewajiban lain. Mau diserahkan ke suami, saya ketar ketir.
“Bisa ngadat ni usaha, secara gak ada peka-pekanya suami urusan beginian. Apalagi kalau melihat kesibukan beliau, yang ada aja hampir kurang waktu. Gimana bisa mengelola toko ini.” Pikir saya waktu itu.
Tapi kondisi membuat saya harus melepas urusan toko. Pelan-pelan saya membujuk hati agar yakin sepenuhnya bahwa rezeki itu sudah diatur. Kalau memang ngadat ya berarti memang sampai di situ saja rezeki lewat toko. Saya luruskan niat, lillah. Tak disangka ternyata semua tetap baik-baik saja di tangan suami. Meski tak langsung sempurna seperti sebelumnya.
Setelah itu, saya masih tetap bantu-bantu. Khususnya saat memilihkan model pakaian yang dibeli. Bedanya, saya menjadi lebih enjoy daripada sebelumnya. Seiring waktu dan kepercayaan yang saya berikan, suami pun semakin mahir mengelola toko.
Demikian lah dalam urusan mencari nafkah. Bukan tidak boleh istri membantu suami. Tapi sesekali biarkan masalah itu mereka yang hadapi. Toh secara hukum syara itu memang kewajiban mereka.
Biarkan mereka yang memikirkan kekurangan uang susu, sewa rumah, SPP yang nunggak, dll. Niscaya kondisi kepepet akan memunculkan potensi kelelakian mereka. Bukankah kita telah lama mengenal istilah "The power of kepepet"?
Jikapun sebagai istri kita mau bantu, berikanlah saran bukan langsung kita yang lakukan. Memotivasi dan merangsang suami untuk peka melihat peluang usaha adalah lebih utama, dibandung menggantikan langsung tugasnya.
Tapi di sini mutlak seorang istri harus nyetok sabar berlipat. Kadang motivasi gak langsung bikin mereka bereaksi. Kadang peluang yang kita sampaikan tak langsung mereka terima. Siap-siap aja kalau mereka jawab, “Ah ini bukan bidang saya, saya gak bisa kerja beginian.”
Atau setelah mereka melakukan ternyata hasilnya jauh dari yang kita harapkan. Mungkin kehidupan kita akan terjun payung dulu dalam beberapa waktu. Bersabarlah. Sambil terus apresiasi setiap usaha yang dilakukan suami.
Bukankah semua ahli pun berawal dari ketidaksempurnaan. Sebagai istri kita jangan keburu berputus asa. Teruslah memotivasi, mendampingi, dan mengapresiasi. Yakinlah suatu saat nanti, para suami akan mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
Meski akhirnya kita pun secara sukarela tetap ingin membantu, tentu dengan perasaan berbeda. Antara sebagai pelaku utama dan hanya membantu sebisanya. Tulang rusuk tak boleh berubah menjadi tulang punggung. Insyaallah rumahtangga kita akan sehat dan penuh berkat.
Jadi sekali lagi, gunakan sabar kita pada tempatnya. Sabar mengembalikan peran suami lebih utama ketimbang sabar menghadapi kelalaian suami. Entah mereka sengaja atau tidak. Bukankan salah satu tugas utama istri adalah menjaga suami dari kelalaiannya?
Jika tak berhasil juga, maka barulah jurus terakhir kita keluarkan. Bersabar dan ikhlas menjalani apa adanya, sembari terus menadah tangan memohon pada-Nya, menanti keajaiban dari yang Maha Penentu Segalanya. Semoga Allah berikan para istri kekuatan dan kesabaran berlipat ganda. Wallahu alam
Sumber : Umi Diwanti