Berjilbab Sepenuh Hati, Bukan Setengah Hati

Gambar kartun hijab dari  sharingconten.com
Berkerudung/Berjilbab Tapi Masih Menampakkan Sebagian Aurat

Karena berangkat bukan murni dari dorongan keimanan dan kesadaran, banyak wanita Muslimah hari ini masih belum berbusana sesuai dengan tuntunan syariah.

Di antara mereka mungkin sudah mengenakan kerudung atau memakai ‘jilbab’, tetapi tetap masih memperlihatkan sebagian auratnya. Masih banyak Muslimah berkerudung, misalnya, tetapi kerudungnya ketat, ‘mencekik leher’, tidak menutup seluruh rambut, atau masih memperlihatkan leher dan kedua daun telinga.

Kadang-kadang kerudung ketat mereka dipadukan dengan baju atasan yang pendek dan ketat. Dipadukan dengan celana yang juga ketat seperti celana legging atau celana jeans, yang tentu saja memperlihatkan lekuk tubuh mereka.

Kadang-kadang pula kerudung mereka terbuat dari bahan yang tipis, transparan atau tembus pandang. Dipadukan pula dengan baju atasan dan rok atau celana yang juga terbuat dari bahan yang tipis, transparan atau tembus pandang.

Mungkin pula di antara mereka telah mengenakan jilbab (gamis/jubah). Namun, jilbab mereka masih cukup ketat, tidak longgar, sehingga masih memperlihatkan lekuk tubuh. Kadang-kadang jilbab mereka juga terbuat dari kain tipis/transparan sehingga tembus pandang.

Semua fenomena di atas tentu menunjukkan bahwa banyak Muslimah yang berkerudung atau berjilbab masih memperlihatkan sebagian auratnya.

Padahal jelas, Allah SWT telah mengancam siapapun yang memperihatkan auratnya di muka umum meski hanya sebagian kecil auratnya. Dalam hal ini, Baginda Rasulullah saw. bersabda:

«صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا»

Dua golongan di antara penghuni neraka yang belum aku lihat keduanya: suatu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi yang mereka gunakan untuk memukul orang-orang; perempuan yang berpakaian, tetapi telanjang, yang condong (kepada laki-laki) dan berupaya agar laki-laki condong (kepada dirinya), rambut mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium aroma surga. Sungguh aroma surga itu bisa tercium sejauh perjalanan demikian dan demikian (HR Muslim)

Imam Muslim meriwayatkan hadis ini dari Zuhair bin Harb, dari Jarir, dari Suhail dari bapaknya (yakni Abu Shalih), dari Abu Hurairah. Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Ibn Hibban dalam Shahîh-nya dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya.

Meski menggunakan redaksi berita, hadis ini bermakna thalab li-tark (tuntutan untuk meninggalkan) perbuatan atau karakter yang diberitakan.

Ungkapan min ahl an-nâr merupakan qarînah (indikator) bahwa karakter atau perbuatan yang digambarkan setelahnya merupakan sesuatu yang haram.

Bahkan hal itu lebih ditegaskan dengan ungkapan bahwa mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium aroma surga, sekaligus menunjukkan betapa besar dosanya.

Mereka di antaranya adalah nisâ’[un] kâsiyât[un] ‘âriyât[un] mâ’ilât[un] mumîlât[un] (wanita yang berpakaian tetapi telanjang, yang condong [kepada pria yang bukan mahram] dan berhasrat membuat pria bukan mahram tertarik kepada dirinya).

Frase kâsiyât[un] ‘âriyât[un] (berpakaian tetapi telanjang) menurut Imam an-Nawawi memiliki beberapa makna, baik secara majazi maupun hakiki.

Pertama: Berpakaian (dibungkus) oleh nikmat Allah, tetapi telanjang dari syukur kepada-Nya.

Kedua: Berpakaian, yakni terbungkus dengan pakaian, tetapi telanjang dari perbuatan baik dan perhatian terhadap kehidupan akhirat serta tidak berbuat taat. 

Ketiga: Berpakaian tetapi tampak sebagian anggota badannya untuk menampakkan kecantikannya. Mereka itu berpakaian tetapi telanjang.

Keempat: Mengenakan pakaian tipis yang masih memperlihatkan warna kulitnya dan bentuk tubuhnya. Mereka ini berpakaian tetapi telanjang. Makna keempat ini juga yang dipilih oleh Ibn Abdil Bar.

Berkerudung/Berjilbab Tapi Ber-Tabarruj

Dewasa ini kita menyaksikan banyak wanita Muslimah yang mengenakan kerudung dipadukan dengan kemeja dan celana panjang ketat hingga menampakkan kecantikan dan seksualitas mereka.

Di sisi lain, kita juga menyaksikan banyak wanita Muslimah yang mengenakan kain penutup kepala, tetapi sebagian rambut, leher, telinganya terlihat dengan jelas.

Sesungguhnya perbuatan-perbuatan semacam ini terkategori tabarruj.

Tentu perbuatan-perbuatan yang terkategori tabarruj masih banyak. Yang jelas, setiap upaya mengenakan perhiasaan atau menampakkan perhiasaan secara tidak wajar yang akan mengundang pandangan laki-laki non-mahram, termasuk tindakan tabarruj.

Tabarruj jelas diharamkan atas wanita Muslimah. Dalilnya adalah firman Allah SWT berikut:

وَقَرْنَ فِى بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجٰهِلِيَّةِ الْأُولٰى 

Hendaklah kalian tetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias seperti orang-orang Jahiliyah yang dulu (QS al-Ahzab [33]: 33).

Ada pula wanita yang mengenakan pakaian tipis, atau memakai busana ketat dan merangsang. Ini pun jelas termasuk dalam kategori tabarruj (bersolek/menampakkan kemolekan tubuh).

Saat menafsirkan frase mutabarrijat (para wanita yang ber-tabarruj) yang terdapat di dalam QS an-Nur (24) ayat 60, Imam Ibnu al-'Arabi menyatakan:

Termasuk tabarruj adalah saat seorang wanita mengenakan pakaian tipis yang menampakkan warna kulitnya. Inilah yang dimaksud dengan sabda Rasulullah saw. yang terdapat di dalam hadis sahih, "Betapa banyak wanita-wanita yang telanjang, berpakaian tipis merangsang, dan berlenggak-lenggok. Mereka tidak akan masuk ke dalam surga dan mencium baunya." (HR Imam Bukhari).

Dalam hadis di atas, terdapat frasa mâ’ilât[un] mumîlât[un]. Frasa tersebut, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi, di antaranya bermakna: Wanita yang menyimpang dari ketaatan kepada Allah SWT dan keharusan menjaga kehormatan. Mereka cenderung kepada laki-laki dan berupaya memikat atau menarik perhatian laki-laki dengan perhiasan, kecantikan, atau keindahan anggota tubuh yang mereka tampakkan.

Dalam hadis di atas juga terdapat frasa ru’ûsuhunna ka-asnamah al-bukht al-mâ’ilah (kepala mereka seperti punuk unta yang miring) maknanya:

Pertama, membesarkan kepala dengan kerudung atau serban dan sebagainya yang disambungkan atau ditumpuk di atas rambut sehingga menjadi seperti punuk unta. Inilah tafsir yang masyhur untuk frasa ini.

Kedua, bisa juga dimaknai: menarik rambut ke atas atau menata rambut sedemikian rupa sehingga seperti punuk unta.

Semua perilaku di atas dapat dikategorikan dengan perilaku tabarruj yang telah diharamkan oleh Allah SWT atas para wanita Muslimah.

Namun demikian, syariah Islam sesungguhnya tidak melarang secara mutlak para wanita Muslimah untuk berhias dalam batas-batas yang masih wajar (tazayyun).

Para Sahabat wanita pada masa Rasulullah saw. juga menghiasi diri mereka dengan bahan-bahan tertentu. Hanya saja, mereka berhias pada batas-batas yang wajar, sesuai dengan apa yang diperintahkan Rasulullah saw. kepada mereka. Sebagian ulama menyatakan, bahwa perhiasan lahiriah wanita adalah pewarna pada kedua tangan (kuteks), celak pada kedua mata dan sedikit wewangian pada kedua pipi. Inilah perhiasan lahiriah yang boleh ditampakkan oleh seorang wanita Muslimah dalam kehidupan umum.

Demikian pula, seorang istri yang berhias di hadapan suaminya atau berdandan ketika ada di rumah adalah tindakan yang dibolehkan tanpa ada khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan jumhur ulama.

Alhasil, kepada kaum Muslimah, sudah selayaknya dan sudah saatnya berkerudung dan berjilbab sepenuh hati. Bukan setengah hati. Caranya tentu dengan berusaha semaksimal mungkin mengenakan kerudung dan jilbab sesuai tuntunan syariah saat keluar rumah.  
Deni Kurnia
Deni Kurnia Seorang Pembelajar, tak Lebih