Mentoring Remaja Bagian 1: Pentingnya Niat yang Benar

Pembinaan Remaja yang diadakan di SMP Negeri 1 Mande, dikoordinasikan oleh Remaja Islam Masjid Darul Ulum (RISMADA). Pembinaan ini meliputi pembinaan akidah, penanaman tsaqofah, dan life skill. Untuk pembinaan akidah dan penanaman tsaqofah, dilakukan dengan halaqoh-halaqoh dan kajian-kajian umum.

Di blog abufadli.com, mulai hari ini akan ditayangkan artikel tentang ringkasan-ringkasan materi pembinaan (mentoring) yang berurut dari pertemuan ke-1 sampai pertemuan selanjutnya.

Bagi Anda yang berkecimpung dalam dunia dakwah remaja khususnya, materi-materi yang akan disajikan bisa menjadi tambahan referensi untuk mendidik generasi muda. Selamat membaca.



PERTEMUAN 1: 
PENTINGNYA NIAT YANG BENAR

Apa itu niat?

• Niat secara bahasa artinya adalah al qashdu (maksud) dan al iraadah (keinginan) atau dengan kata lain qashdul quluub wa iraadatuhu (maksud dan keinginan hati).

• Sedangkan secara Istilah, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di menjelaskan, “Niat adalah maksud dalam beramal untuk mendekatkan diri pada Allah, mencari ridha dan pahala-Nya.”

(Bahjah Quluubil Abraar wa Qurratu ‘Uyuunil Akhyaar Syarah Jawaami’ul Akhbar hal. 5)

Dimana tempatnya niat?

• Tempat niat adalah di dalam hati, dan An Nawawi berkata,”Tidak ada khilaf dalam hal ini.”
• Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

وَالنِّيَّةُمَحَلُّهَاالْقَلْبُبِاتِّفَاقِالْعُلَمَاءِ؛فَإِنْنَوَىبِقَلْبِهِوَلَمْيَتَكَلَّمْبِلِسَانِهِأَجْزَأَتْهُالنِّيَّةُبِاتِّفَاقِهِمْ

Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 18:262)

Apa fungsi niat?

1. Membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya.Contoh ada ibadah yang hukumnya fardhu ‘ain, ada yang fardhu kifayah, ada yang termasuk rawatib, ada yang niatnya witir, ada yang niatnya sekedar shalat sunnah saja (shalat sunnah mutlak).

2. Membedakan antara ibadah dengan kebiasaan. Contoh puasa. Puasa berarti meninggalkan makan, minum dan pembatal lainnya. Namun terkadang seseorang meninggalkan makan dan minum karena kebiasaan, tanpa ada niat mendekatkan diri pada Allah. Terkadang pula maksudnya adalah ibadah.

3. Membedakan tujuan seseorang dalam beribadah. Jadi apakah seorang beribadah karena mengharap wajah Allah ataukah ia beribadah karena selain Allah, seperti mengharapkan pujian manusia.

(Ibnu Rajab Al-Hambali, Jami’ al-‘ulum wal hikam, hal. 67)

Mengapa niat harus karena Allah?

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

ومالايكونلهلاينفعولايدوم

Segala sesuatu yang tidak didasari ikhlas karena Allah, pasti tidak bermanfaat dan tidak akan kekal.” (Dar-ut Ta’arudh Al ‘Aql wan Naql, 2: 188)

Keikhlasan Imam Malik dalam menyusun kitab al Muwatta

• Para ulama menyebutkan bahwa Imam Ibnu Abi Dzi’bi yang semasa dan senegeri dengan Imam Malik pernah menulis kitab yang lebih besar dari Muwatho’. Karena demikian, Imam Malik pernah ditanya, “Apa faedahnya engkau menulis kitab yang sama seperti itu?” Jawaban beliau, “Sesuatu yang ikhlas karena Allah, pasti akan lebih langgeng.” (Ar Risalah Al Mustathrofah, hal. 9. Dinukil dari Muwatho’ Imam Malik, 3: 521)

• Kitab ini merupakan salah satu dari Kutubut Tis'ah (9 kitab hadis ulama di kalangan Sunni) dan menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer.

• Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadis. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadis.

• Imam Malik berkata, “Suatu ketika aku mendemonstrasikan kitabku di hadapan tujuh puluh para ulama fiqh Madinah dan semuanya menyetujuiku (watha’ani), maka akupun menamainya dengan al-Muwaththa’”.

• Imam Malik menyusun kitab ini menjadi 2 bagian:

• Pertama mengenai perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW (sunnah) serta riwayat perkataan dan perbuatan Nabi tersebut (hadis).

• Kedua, mengenai pendapat dan keputusan resmi sahabat Nabi, penerus mereka, dan beberapa ulama kemudian.

• Kitab ini ditulis pada masa pemerintahan Khalifah Al Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa Khalifah Al Mahdi (775-785 M).

Pelajaran tentang niat dari Imam Nawawi


• Nama lengkap beliau Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, Abu Zakaria.

• Beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah Dimasyq (Damaskus) yang sekarang merupakan ibukota Suriah.

• Beliau wafat pada tanggal 24 Rajab 676 H.

• Umurnya singkat, namun ilmunya terus kekal dan langgeng.

• Jumlah karyanya sekitar 40 (empat puluh) kitab, diantaranya:

• Dalam bidang hadits: Arba’in, Riyadhush Shalihin, Al-Minhaj (Syarah Shahih Muslim), At-Taqrib wat Taysir fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin Nadzir.

• Dalam bidang fiqih: Minhajuth Thalibin, Raudhatuth Thalibin, Al-Majmu’.

• Dalam bidang bahasa: Tahdzibul Asma’ wal Lughat.

• Dalam bidang akhlak: At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an, Bustanul Arifin, Al-Adzkar.

• Itu semua dilakukan beliau karena hanya ingin meraihridho Allah, bukan ingin disebut orang paling cerdas, bukan ingin pula meraih gelar mentereng atau ingin mendapat balasan dunia semata.

Bahaya salah niat (1): mujahid masuk neraka

Abu Hurairah berkata: Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, ‘Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berkata, ‘Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka.’


Bahaya salah niat (2): orang ‘alim masuk neraka

“Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membacaal-Qur-an. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya, ‘Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca al-Qur-an hanyalah karena Engkau.’ Allah berkata, ‘Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (yang berilmu) dan engkau membaca al-Qur-an supaya dikatakanseorang qari’ (pembaca al-Qur-an yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.’


Bahaya salah niat (3): orang kaya masuk neraka

“Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapanganrezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya, ‘Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab, ‘Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berkata, ‘Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka’,” (HR. Muslim)

Bahaya salah niat dalam menuntut ilmu (1)

Anas bin Malik ra. berkata,

مَنْطَلَبَالْعِلْمَلِيُجَارِىَبِهِالْعُلَمَاءَ
أَوْلِيُمَارِىَبِهِالسُّفَهَاءَأَوْيَصْرِفَبِهِوُجُوهَالنَّاسِإِلَيْهِأَدْخَلَهُاللَّهُالنَّارَ

Siapa menuntut ilmu untuk menandingi para ulama, atau mendebat orang-orang bodoh, atau memalingkan pandangan-pandangan manusia kepadanya, maka Allâh akan memasukkannya ke neraka.”(HR. At-Tirmidzi, Shahîh at-Targhîb, no. 106)

Bahaya salah niat dalam menuntut ilmu (2)

Anas bin Malik ra. berkata,

مَنْطَلَبَالْعِلْمَيُبَاهِيبِهِالْعُلَمَاءَ،أَوْيُمَارِيبِهِالسُّفَهَاءَ،أَوْيَصْرِفُأَعْيُنَالنَّاسِإِلَيْهِ،تَبَوَّأَمَقْعَدَهُمِنَالنَّارِ

Barangsiapa menuntut ilmu hanya ingin digelari ulama, untuk berdebat dengan orang bodoh, supaya dipandang manusia, maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Hakim dalam Mustadroknya)

Menuntut ilmu harus karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

مَنْتَعَلَّمَعِلْمًامِمَّايُبْتَغَىبِهِوَجْهُاللَّهِعَزَّوَجَلَّ
لاَيَتَعَلَّمُهُإِلاَّلِيُصِيبَبِهِعَرَضًامِنَالدُّنْيَا
لَمْيَجِدْعَرْفَالْجَنَّةِيَوْمَالْقِيَامَةِ

Siapa menuntut ilmu yang seharusnya ditujukan hanyamengharap wajah Allâh ‘Azza Wa Jalla, namun ternyata ia tidak menuntut ilmu kecuali untuk mendapatkan sedikit dari kenikmatan dunia, maka ia tidak akan mencium bau surga pada hari Kiamat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, Shahîh ath-Targhib, no. 105)

Belajar untuk ibadah dan mengajar

Imam Ahmad ditanya mengenai apa niat yang benar dalam belajar agama. Beliau menjawab, “Niat yang benar dalam belajar adalah apabila belajar tersebut diniatkan untuk dapat beribadah pada Allah dengan benar dan untuk mengajari yang lainnya.”

Ikhlas sebab derajat tinggi

Syaikh Sholih Al-Ushoimi –hafidzahullah- menasehatkan:

Tidaklah para salafussholih itu unggul dan sampai pada derajat ilmu (yang tinggi), melainkan karena sebab ikhlasnya mereka saat menuntut ilmu, karena mengharap pahala Allah tuhan semesta alam. (Khulashoh Ta’dhiimil ‘Ilmi, hal. 11)

Jatah ilmu sebanyak kadar ikhlas

Syaikh Sholih Al-‘Ushoimi juga mengatakan:

وانماينالالمرءالعلمعلىقدراخلاصه

“Seorang itu mendapatkan jatah ilmu, sebanyak kadar ikhlasnya.”(KhulashohTa’dhiimil ‘Ilmi, hal. 11)

Tidak cukup niat ikhlas, namun juga harus ittiba’

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan,

“Yang namanya amalan jika niatannya ikhlas namun tidak benar, maka tidak diterima. Sama halnya jika amalan tersebut benar namun tidak ikhlas, juga tidak diterima. Amalan tersebut barulah diterima jika ikhlas dan benar. Yang namanya ikhlas, berarti niatannya untuk menggapai ridha Allah saja. Sedangkan disebut benar jika sesuai dengan petunjuk Rasul saw.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:72)

Semoga bermanfaat!

Deni Kurnia
Deni Kurnia Seorang Pembelajar, tak Lebih