Menikmati Sepiring Bubur Ayam Selakopi dan Filosofi di dalamnya

Suatu pagi menikmati bubur ayam Selakopi. Sebuah postingan sederhana saja, biasa. Tentang sarapan pagi, tentang bubur ayam, dan tentang safar. Seperti layaknya matahari terbit dari sebelah timur, biasa. Seperti hujan turun dari langit, dalam bentuk butiran-butiran kecil, juga biasa.

Berbicara mengenai bubur ayam Selakopi, yang ada di pelataran Klinik Graha Medika Cianjur, saya fikir sudah ada sejak lama. Ada mungkin belasan tahun "mangkal" di tempat ini. Ini lumayan fenomenal. 

Selain menyuguhkan bubur ayam khas Cianjur yang memiliki kontur agak beda dengan bubur ayam Jakarta ataupun bubur ayam Bandung, cara penyajiannya menggunakan piring, bukan mangkok seperti umumnya. Dengan harga delapan ribu per porsi, mampu mengenyangkan perut, walau untuk sementara (paling lama sampai pukul 9 biasanya lapar lagi, pengalaman😁)

Menurut cerita, bubur ayam Cianjur lebih lembek dan lebih encer dibanding Bubur ayam Jakarta atau Bandung. Namun justru itulah kelebihannya, sehingga bubur ayam Cianjur banyak disuka. 

Kenapa disebut Bubur Ayam, padahal ia unsur terkecil dari keseluruhan makanan ini?

Jika hanya membicarakan tentang bubur ayam, sepertinya hal yang sangat biasa. Sekedar makanan alternatif untuk sarapan. Namun jika kita sedikit "memikirkan", dari bubur ayam ini ada sebuah filosofi yang menarik untuk kita kaji.

Pernahkah Anda berfikir kenapa disebut bubur ayam? Padahal kalau kita beli, yang punya nama yaitu ayam, hanya bagian terkecil saja dari keseluruhan bubur ayam. Tentu berbeda dengan bubur kacang ijo misalnya. Bubur kacang ijo, adalah unsur utama jenis kuliner ini. 

Maka, saya akan coba kupas,  "Filosofi Bubur Ayam dan pribadi muslim yang Mewarnai".

Emang ada hubungannya antara bubur ayam dan posisi muslim? Ya dihubung-hubungkan saja.

Kembali ke kalimat-kalimat di atas, ayam yang memiliki nama, justru menjadi bagian terkecil dalam komunitas bubur ayam. Bagian terbanyaknya ya nasi, namun tidak disebut bubur nasi. Ayam menjadi simbol dari makanan ini, menjadi trade mark yang tidak bisa digantikan dengan istilah lain.

Seperti itulah seharusnya pribadi-pribadi muslim. Ia memberikan warna tersendiri bagi sesama di sekitarnya, dengan warna kebaikan. Ia bahkan menjadi simbol kebaikan dalam lingkungannya, yang dengan kehadirannya, kebaikan terpancar dan menjadi ikutan bagi yang lain.

Ia menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama. Ia menjadi jawaban bagi sabda baginda Nabi,

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni).

Ciri dari orang yang paling bermanfaat, sebagaimana hadits di atas, setidaknya ada 3 yaitu:

1. Ketika ada, dihormati dihargai
2. Ketika belum ada, ditunggui
3. Ketika tiada, dirindui

Pribadi seperti ini, walaupun sendiri, tetap memiliki energi untuk memberi arti menambah warna bagi sesama, apalagi ketika berjamaah dalam melakukan dan menyebarkan kebaikan, akan memiliki pengaruh yang luar biasa.

Pribadi seperti ini walaupun ia bukan pemimpin secara formal, namun dalam kenyataan ia dikuti karena kebenarannya.

Walaupun ia tak berpendidikan tinggi, namun ketinggian ilmu dan kematangannya menjadikannya sebagai tempat rujukan pengalaman dan keilmuan.

Pribadi seperti ini tak dihargai karena ketampanannya, tak dihormati karena kekayaannya, namun ia dihargai dan dihormati karena komitmennya dalam menjalankan dan menyebarkan kebenaran.

Itulah analogi sederhana antara ayam yang sedikit, namun mampu menjadi warna bagi keseluruhan makanan yang bernama bubur ayam, dengan selayaknya posisi seorang muslim. Memberi arti dan mewarnai.

Kitakah pribadi muslim seperti itu?

Yang jelas bukan saya. Atau mungkin belum seperti itu.

Wallahu a'lam.


Deni Kurnia
Deni Kurnia Seorang Pembelajar, tak Lebih