Hanya Kematian Yang Memisahkan Kita, In Syaa Allah!
Hanya Kematian Yang Memisahkan Kita, adalah sebuah frasa yang sering saya dengar dari mulut pasangan-pasangan suami istri, yang berharap demikian. Orang-orang seperti ini tahu betul bahwa pernikahan itu "mitsaqon gholidho" atau perjanjian yang agung, yang mesti dipertahankan "mati-matian".
Sebuah pelajaran lagi saya dapatkan hari ini, ketika berkunjung ke rumah " Abah". Begitu kami menyebutnya. Beliau ini belum lama ditinggal wafat oleh istrinya. Perbincangan dimulai dari proses pemilihan presiden yang sedang berlangsung, hingga ke masalah keluarga. Ceritanya, beliau telah merajut rumah tangga dengan "ummi" yang sudah wafat itu, selama 45 tahun. Dan kini dipisahkan oleh ajal yang menjemput istrinya. Selama "ngobrol", terkadang ada tetes air mata keluar dari pelupuk matanya, sedih katanya ditinggal sang kekasih.
Saya teringat pula "kemesraan" serupa yang ditunjukkan guru saya, Almarhum Pak Lukman kepada istrinya. Puluhan tahun membina rumah tangga, dan kematian pula yang memisahkan keduanya. Jika kita lebih jauh lagi, ada uswah (teladan) juga dari Baginda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Perjalanan indah rumah tangganya bersama Ibu Khodijah, juga dipisahkan dengan kematian wanita sholehah tersebut.
Subhannalloh....begitulah kata yang meluncur dari mulut ini yang hampir kelu ketika berbicara dengan orang-orang seperti ini, atau mendengar dan membaca kisah-kisah perjalanan rumah tangga orang-orang sabar dan hebat.
Hanya kematian yang akan memisahkan kita.......
Dalam hati berazzam juga dengan kalimat tersebut. Ketika ditanyakan kepada "Abah", apa sih resep agar rumah tangga bisa bertahan dengan segala romantika dan problematikanya?
Dengan bahasa sederhana, beliau mengemukakan. Agar bahtera rumah tangga bisa bertahan, dan bisa menyelesaikan segala problematika, ada beberapa pengalaman yang bisa dijadikan ibrah, yaitu :
1. Marah dilawan dengan senyum dan melunakkan suara
Almarhum, istri beliau agak "cerewet" katanya. Tapi setiap berlaku demikian, "Abah" cuma tersenyum menghadapinya, dan berusaha melunakkan suara. Jangan justru sama, cerewet dilawan cerewet, marah dilawan marah, jadi berabe.
2. Saling memahami karakter masing-masing
Ini penting sekali. Menyatukan dua orang dalam satu rumah, yang pasti beda karakter, beda latar belakang. Saling memahami kondisi ini, dan berusaha mencari persamaan, adalah langkah bijaksana. Dalam artian, tidak memaksakan ego masing-masing.
Beliau mengemukakan 2 tips agar rumah tangga awet. Bagi saya khususnya, walau tanpa tips seperti itu pun, dengan melihat kehidupan mereka, sudah cukup menjadi contoh.
Sebuah pelajaran lagi saya dapatkan hari ini, ketika berkunjung ke rumah " Abah". Begitu kami menyebutnya. Beliau ini belum lama ditinggal wafat oleh istrinya. Perbincangan dimulai dari proses pemilihan presiden yang sedang berlangsung, hingga ke masalah keluarga. Ceritanya, beliau telah merajut rumah tangga dengan "ummi" yang sudah wafat itu, selama 45 tahun. Dan kini dipisahkan oleh ajal yang menjemput istrinya. Selama "ngobrol", terkadang ada tetes air mata keluar dari pelupuk matanya, sedih katanya ditinggal sang kekasih.
Saya teringat pula "kemesraan" serupa yang ditunjukkan guru saya, Almarhum Pak Lukman kepada istrinya. Puluhan tahun membina rumah tangga, dan kematian pula yang memisahkan keduanya. Jika kita lebih jauh lagi, ada uswah (teladan) juga dari Baginda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Perjalanan indah rumah tangganya bersama Ibu Khodijah, juga dipisahkan dengan kematian wanita sholehah tersebut.
Subhannalloh....begitulah kata yang meluncur dari mulut ini yang hampir kelu ketika berbicara dengan orang-orang seperti ini, atau mendengar dan membaca kisah-kisah perjalanan rumah tangga orang-orang sabar dan hebat.
Hanya kematian yang akan memisahkan kita.......
Dalam hati berazzam juga dengan kalimat tersebut. Ketika ditanyakan kepada "Abah", apa sih resep agar rumah tangga bisa bertahan dengan segala romantika dan problematikanya?
Dengan bahasa sederhana, beliau mengemukakan. Agar bahtera rumah tangga bisa bertahan, dan bisa menyelesaikan segala problematika, ada beberapa pengalaman yang bisa dijadikan ibrah, yaitu :
1. Marah dilawan dengan senyum dan melunakkan suara
Almarhum, istri beliau agak "cerewet" katanya. Tapi setiap berlaku demikian, "Abah" cuma tersenyum menghadapinya, dan berusaha melunakkan suara. Jangan justru sama, cerewet dilawan cerewet, marah dilawan marah, jadi berabe.
2. Saling memahami karakter masing-masing
Ini penting sekali. Menyatukan dua orang dalam satu rumah, yang pasti beda karakter, beda latar belakang. Saling memahami kondisi ini, dan berusaha mencari persamaan, adalah langkah bijaksana. Dalam artian, tidak memaksakan ego masing-masing.
Beliau mengemukakan 2 tips agar rumah tangga awet. Bagi saya khususnya, walau tanpa tips seperti itu pun, dengan melihat kehidupan mereka, sudah cukup menjadi contoh.
Terimakasih bagi siapapun yang mengajarkan praktek kehidupan yang benar. Terimakasih bagi siapapun yang dengan contoh nyata, memperlihatkan, beginilah cara membina rumah tangga.
In syaa Allah, kematian yang akan memisahkan kita, istriku.