Istilah Status Quo dan Quo Vadis, dan Hubungannya dengan Mental Penjilat

Status quo dan quo vadis, dua istilah yang sangat kami hafal di masa muda dulu, masa-masa zaman "pergerakan" mahasiswa ketika menuntut perubahan kepemimpinan rezim, yang berkuasa puluhan tahun, dan penuh kezaliman. Ketika menggelorakan jargon, "Satu hati menuntut reformasi". Status Quo dan quo vadis. Apakah gerangan itu?

Pengertian Status Quo
Menurut Kemendikbud, status quo berasal dari bahasa Latin, artinya 'keadaan tetap sebagai­mana keadaan sekarang atau sebagaimana keadaan sebelumnya'.

Jadi, mempertahankan status quo berarti mempertahankan keadaan sekarang yang tetap seperti keadaan sebelumnya.

Pengertian Quo Vadis

Quo vadis, menurut Wikipedia adalah sebuah kalimat dalam bahasa Latin yang terjemahannya secara harafiah berarti: "Ke mana engkau pergi?"
Dalam keseharian, kita akan dapat melihat contoh nyata keduanya. Ketika seseorang "ngotot" mempertahankan jabatannya, maka ia bisa kita katakan sedang mempertahankan status quo. Atau, ketika seseorang "ngotot" juga mempertahankan pemikirannya, walau pemikiran itu salah, maka kita bisa menyebut orang seperti itu sedang mempertahankan status quo.

Contoh praktek kebahasaan quo vadis, misal ada artikel dengan judul " Quo Vadis Negara Hukum (Indonesia)" yang "menanyakan" hilangnya Indonesia sebagai negara hukum. Kalau dulu, hukum itu panglima. Namun sekarang, hukum itu menjadi alat kekuasaan yang berkuasa.

Ada juga artikel di Kompas, dengan judul " Habibie: Quo Vadis Indonesia?. Salah satu cuplikan artikelnya,  

"Habibie menyebut, kita kaya tapi miskin (kaya sumber daya alam, miskin penghasilan). Kita besar tapi kerdil (besar wilayah dan penduduk, kerdil produktivitas dan daya saingnya). Merdeka tapi terjajah (merdeka secara politik, terjajah secara ekonomi). Kuat tapi lemah (kuat dalam anarkisme, lemah dalam menghadapi tantangan global). Kemudian, kita itu indah tapi jelek (indah potensi dan prospeknya, jelek dan korup dalam pengelolaannya). "Mau ke mana kita? Quo vadis Indonesia?" kata Habibie.

Status Quo dan Quo Vadis adalah Karakter
Jika seseorang sekuat tenaga mempertahankan suatu jabatan yang ia rasa "nikmat" menjalaninya, atau tetap dalam pemikirannya yang salah (status quo), maka ia tak butuh pertanyaan quo vadis. Ia tak butuh ide baru, ia tak butuh inovasi baru. Menurut yang berkarakter seperti ini, dirinyalah atau kelompoknyalah yang benar. Bagi mereka, orang yang sekedar bertanya "quo vadis kita?", akan dianggap sebagai pengganggu, atau lebih kejamnya "makar".

Quo vadis, identik dengan semangat berubah. Pribadi berkarakter quo vadis, selalu bertanya " akan kemana kita?", "mau bagaimana kita?", "mau berubah seperti apa kita?", intinya mempertanyakan langkah apa supaya berubah ke arah yang lebih baik dari keadaan yang terjadi saat ini. Pribadi berkarakter seperti ini, akan open minded terhadap orang dan pemikiran baru. Tak betah dengan keadaan yang stagnan dan statis.

Jadi, apa hubungannya "status quo" dengan penjilat?
Orang yang dengan segala daya mempertahankan status quo, akan menlaksanakan berbagai cara untuk tercapainya tujuan pribadi atau kelompoknya. Walaupun cara yang dijalani itu salah, melanggar norma, tak taat etika, dan tentu dilarang agama. Maka cara yang mudah untuk mempertahankan jabatan ( di berbagai level ), adalah dengan cara menjilat atasan. Jurus ABS, "Asal Bapak Senang" selalu dilancarkan, tak peduli bawahan, jika ia punya bawahan.

Tinggal kita yang menentukan pilihan. Mau tetap diam dalam kejumudan dan keterbelakangan pemikiran , atau mau berubah dan mulai melangkah? Jika memilih mau berubah, enyahkan status quo, dan gelorakan quo vadis dengan serangkaian langkah yang brilian.

Semoga bermanfaat ! (www.abufadli.com)
Deni Kurnia
Deni Kurnia Seorang Pembelajar, tak Lebih