3 Kelelahan Pemuja Harta

Jika kita bertanya, seperti apakah orang yang sukses itu? Jawaban umumnya adalah jika seseorang bisa menjadi dokter, pilot, pengusaha, menjadi orang kaya, dan jawaban lainnya.

Ukuran kesuksesan adalah duniawi. Seseorang dikatakan sukses jika ia bisa mencapai cita-cita dan meraih status sosial yang tinggi. Ini tidak sepenuhnya salah, mengingat semua dari kita adalah korban dari penerapan sistem kapitalisme, yang berbuah pemikiran serba uang serba materi.

Sistem ini pula yang melahirkan kompetisi. Semua berlomba mendapatkan harta, yang menurut paradigma kapitalis, ia adalah kunci bahagia.

Maka, lumrahnya dari sistem kompetisi, siapa yang kuat, dia akan menang, dan yang lemah akan menjadi pecundang. Siapa yang bisa menguasai aset, dialah pemenang kompetisi.

Islam memandang sebaliknya. Kebahagiaan bukan terletak di berlimpahnya harta, tidak juga ada dalam tingginya tahta. Kebahagiaan sejati ada dalam ketaatan kepada Sang Pencipta Alam. Islam tidak melarang manusia menjadi kaya, tidak melarang pula meraih tahta. Islam hanya mewajibkan manusia, mentaati segala aturan dalam mencari dan memanfaatkan harta dan tahta itu.

Maka sengsaralah para pengejar harta, dengan segala cara, walau harus melawan kehendak Allah subhanahu wa ta'ala.

Kelelahan dan kesengsaraan para pemuja harta, terletak pada tiga hal :

1. Kelelahan dalam menginginkannya
Menginginkan sesuatu yang fana, menyebabkan kelelahan. Sepeti mengejar fatamorgana, yang ketika berusaha digapai, ternyata hanya kekecewaan yang didapatkan.

2. Kelelahan dalam mendapatkannya
Jika seseorang diberi satu gunung emas, niscaya ia akan berusaha mendapatkan gunung emas lainnya, dan begitulah seterusnya. Perumpamaan seperti kita meminum air laut, bukannya menghilangkan dahaga, melainkan bertambah dan makin dahaga. Begitu juga ketika kita mengejar dunia, maka kelelahan demi kelelahan yang kita dapatkan.

3. Kelelahan dalam menjaganya
Seseorang yang memiliki harta berlimpah rela menyewa jasa pengamanan yang notabene mahal harganya, demi untuk menjaga harta bendanya. Tak cukup itu, di setiap sudut dipasang sistem CCTV untuk memantau seluruh aktivitas di dalam dan di luar ruangannya. Begitulah, kita akan merasa lelah untuk menjaga sesuatu yang justru akan ditinggalkan atau meninggalkan kita.

Alur Paradigma tentang harta

Kita sama-sama meluruskan paradigma tentang harta. Alurnya begini :

  • Allah Tuhan kita
  • Kita hamba Allah
  • Harta bertugas melayani kita dalam mengabdi kepada Allah
Artinya, posisi harta bagi seorang mukmin adalah sebagai pelayan, sebagai sarana penunjang untuk menghamba kepada Allah SWT, untuk menjalankan segala ketaatan kepada-Nya, dan dengan harta itu kita semakin dekat kepada Allah SWT.

Bukan sebaliknya, KITA yang menjadi HAMBA harta. Siang malam dibuat gelisah dengan harta itu, baik ketika menginginkan, mendapatkan, dan menjaganya.

Kita berharap, kita dihindarkan oleh Allah SWT dari menjadi budak/hamba dunia.


Deni Kurnia
Deni Kurnia Seorang Pembelajar, tak Lebih