Mendiamkan Kesalahan adalah Kejahatan



Ketika menulis tentang kata-kata yang terluncur dari tokoh pergerakan ini, saya tidak sedang mengagungkan haluan pemikiran, politik, dan kepercayaannya. Tidak pula sedang mengesampingkan nilai Islam, sehingga harus dan merasa perlu mengambil buah akal dari peradaban selain Islam. Semua ini, semata untuk mengambil pemaknaan yang berhubungan dengan yang sedang trend sekarang, demonstrasi mahasiswa.

Ketika seolah banyak yang abai dengan kondisi negeri ini, menutup mata terhadap segala kezaliman dalam setiap sudut kehidupan, dan berimbas kepada tingkat kemampuan yang mengkhawatirkan dalam menjalani kehidupan di sebagian besar masyarakat. Mahasiswa bangun dan bergerak. Mereka, dan mungkin juga kita, merasa kesal dengan kondisi ini. Mereka, dan sekali lagi, mungkin kita juga, menginginkan negeri ini berjalan dengan semestinya.

Kejahatan merajalela, bukan saja karena penjahatnya bertambah, namun karena banyaknya ulama, pemimpin, atau siapa saja yang punya kekuatan dan kewenangan, mereka DIAM.

Bukan karena tidak faham ilmu, namun ulama yang diam menghadapi kemunkaran, yang oleh Baginda Nabi disebut sebagai SETAN BISU, karena tersandera kepentingan dunia. Ketakutan terhadap manusia, mengalahkan ketakutannya terhadap Allah SWT.

Jika bukan oleh ulama yang amar ma'ruf nahi munkar-nya dengan lisannya, oleh siapa lagi harus dilakukan.

Jika bukan oleh umara yang amar ma'ruf dan nahi munkar-nya dengan kekuatan, maka harus oleh siapa kewajiban itu dijalankan.

Maka benar pulalah apa yang ditulis seorang tokoh pemuda, di zaman pergerakan di kurun menjelang dan awal-awal kemerdekaan, Soe Hok Gie : " Mendiamkan kesalahan adalah Kejahatan".

Mengenal Sedikit tentang Soe Hok Gie

Soe Hok Gie (lahir di Jakarta, 17 Desember 1942 – meninggal di Gunung Semeru, 16 Desember 1969 pada umur 26 tahun) adalah seorang aktivis Indonesia Tionghoa yang menentang kediktatoran berturut-turut dari Presiden Soekarno dan Soeharto. Ia adalah mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969.

Setelah menghabiskan tahun-tahun terakhirnya di SMA Kolese Kanisius, Soe kuliah di Universitas Indonesia (UI) dari tahun 1962 sampai 1969; setelah menyelesaikan studi di universitas, ia menjadi dosen di almamaternya sampai kematiannya. Ia selama kurun waktu sebagai mahasiswa menjadi pembangkang aktif, memprotes Presiden Sukarno dan PKI. Soe adalah seorang penulis yang produktif, dengan berbagai artikel yang dipublikasikan di koran-koran seperti Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Setelah Riri Riza merilis film berjudul Gie pada tahun 2005, artikel-artikelnya disusun oleh Stanley dan Aris Santoso yang diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan oleh penerbit GagasMedia.

Sebagai seorang pendukung hidup yang dekat dengan alam, Soe seperti dikutip Walt Whitman dalam buku hariannya: "Sekarang aku melihat rahasia pembuatan orang terbaik itu adalah untuk tumbuh di udara terbuka dan untuk makan dan tidur dengan bumi." Pada tahun 1965, Soe membantu mendirikan Mapala UI, organisasi lingkungan di kalangan mahasiswa. Dia menikmati kegiatan hiking, dan meninggal karena menghirup gas beracun saat mendaki gunung berapi Semeru sehari sebelum ulang tahun ke 27. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Dia dimakamkan di tempat yang sekarang menjadi Museum Taman Prasasti di Jakarta Pusat. (Wikipedia)

Penutup
Banyak yang nyinyir dengan penyampaian pendapat melalui demonstrasi. Jika komunikasi terjalin lancar antara pemerintah dan rakyatnya, dipenuhi atmosfer keterbukaan dan kasih sayang, tentu sangat tidak perlu ada demonstrasi.

Namun jika itu tidak terrealisasi, bukankah MENDOBRAK pintu itu lebih efektif?  
Deni Kurnia
Deni Kurnia Seorang Pembelajar, tak Lebih