Riba yang Sedikit TIDAK HARAM, Benarkah?

Sehubungan dengan RIBA, apapun namanya (jasa, bunga, kelebihan dll), yang sedikit, misal satu persen, ada pendapat yang membolehkannya dengan alasan riba yang dilarang Al Qur'an hanyalah "riba yang berlipat ganda" saja. Bagaimana hukumnya dengan riba yang sedikit ini?

Berikut penuturan Ustadz M Shiddiq Al Jawi untuk menanggapi pendapat kebolehan riba yang sedikit yang tidak berlipat ganda.

Memang ada pendapat yang menyatakan bahwa riba yang diharamkan hanyalah riba yang banyak atau "berlipat ganda" (adh'afan mudhaa'afah), sedangkan riba yang sedikit tidak haram. Yang berpendapat seperti ini antara lain Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha, dengan dalil friman Allah SWT dalam QS Ali Imran ayat 130 :


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (١٣٠) 

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda[228]] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. "

[228] Yang dimaksud Riba di sini ialah Riba nasi'ah. menurut sebagian besar ulama bahwa Riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
Jamaluddin Al Afghani berdalil dengan ayat itu, untuk membolehkan riba yang sedikit, dengan berkata,

“Allah mengharamkan riba dengan satu puncak hikmah, yaitu hendaklah jangan dimakan riba yang berlipat ganda, yakni yang diharamkan dalam ayat itu, dan supaya imam mempunyai jalan keluar—ketika ada tuntutan kemaslahatan—untuk membolehkan riba yang rasional (ma’quul) yang tidak memberatkan pihak yang berhutang.” 

(Muhammad Basya Al Makhzumi, Khathirat Jamaluddi Al Afghani, hlm.195, dalam Abdurrahim Faris Abu ‘Ulbah, Syawa’ib Al Tafsir, hlm.246)

Pendapat Jamaluddin Al Afghani itu lalu diikuti oleh murid-muridnya, yaitu Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh. Ketika menafsirkan QS Ali Imran ayat Muhammad Abduh berkata,

 “….Ini adalah ayat yang pertama dalam Al Qur’an tentang pengharamannya (riba berlipat ganda), dan Al Qur’an tidak mengharamkan selain itu….Ini adalah ayat yang pertama kali turun tentang pengharaman riba, yaitu ayat tentang pengharaman riba yang dikhususkan dengan batasan ini (makhsuush bi hadza al qaid), dan ini mashur di sisi mereka.” (Muhammad Abduh, Tafsir Al Manaar, Juz 3 hlm.133)

Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, jelas Jamaluddin Al Afghani dan murid-muridnya telah membolehkan riba yang tidak berlipat ganda, berdasarkan QS Ali Imran ayat 130, dengan beberapa wajhul istidlal (cara pengambilan hukum dari dalil) sebagai berikut :

1) Men-takhsis (mengkhususkan/mengecualikan) keumuman ayat yang mengharamkan riba, atau;

2) Men-taqyiid (memberi batasan/syarat) dari kemutlakan ayat yang mengharamkan riba, atau;

3) Menarik mafhum mukhalafah (pengertian yang sebaliknya) dari ayat yang melarang riba yang berlipat ganda.

Semua wajhul istidlal tersebut batil dan hukum yang dihasilkannya, yaitu membolehkan riba yang sedikit, adalah ijtihad yang batil, dengan dua alasan sebagai berikut :

1) Tidak dapat diterima menarik mafhum mukhalafah dari QS Ali Imran ayat 130, atau menjadikan ayat itu sebagai takhsis/taqyiid dari keumuman atau kemutlakan ayat yang mengharamkan riba (QS Al Baqarah :275).

Dalam kaitan ini Imam Ibnu Hayyan Al Andalusi berkata, “Riba sudah diharamkan dalam segala jenisnya, maka dari itu haal yang terdapat dalam ayat itu (yaitu larangan memakan riba yang berlipat ganda, adh’afan mudha’afah) tak dapat diambil mafhum mukhalafah-nya dan tidak dapat pula menjadi qaid (batasan) dalam larangan riba….” (Ibnu Hayyan Al Andalusi, Tafsir Al Bahrul Muhith, Juz 3 hlm.54; Imam Syaukani, Fathul Qadir, Juz 1 hlm.380)

2) Tidak dapat diterima menjadikan QS Ali Imran ayat 130 ini sebagai takhsish dari keumuman haramnya riba dalam QS Al Baqarah ayat 275, sebab dalam ilmu ushul fiqh, dalil takhsish seharusnya turun belakangan (muta’akhkhir) dari dalil umumnya, ataupun kalau turun lebih dahulu (mutaqaddim), seharusnya takhsish itu bersambung (muttashil) dengan dalil umumnya dalam satu rangkaian ayat. (Saifuddin Al Amidi, Al Ihkam fi Ushul Al Ahkam, Juz IV).

Syarat tersebut tidak terwujud dalam pendapat Jamaluddin Al Afghani, karena faktanya QS Ali Imran ayat 130 turun lebih dahulu, bukan turun belakangan. Baru setelah itu turun QS Al Baqarah ayat 275. Lagi pula dua ayat tersebut tidak terletak dalam satu rangkaian ayat yang muttashil.

Khotimah
Jadi, pendapat yang membolehkan riba yang sedikit adalah ijtihad yang batil yang haram diamalkan kaum muslimin, karena menyalahi nash qath’i (pasti) yang telah mengharamkan segala jenis riba, baik sedikit maupun banyak. Wallahu a’lam. (MediaUmat 138)

Deni Kurnia
Deni Kurnia Seorang Pembelajar, tak Lebih