Challenge Puisi Bersambung, tentang Hujan, Kata-kata Pujangga, dan Aisyah

Mengajak beberapa anak muda di sebuah komunitas sastra, untuk sekedar "challenge" membuat puisi bersambung. Masya Allah, jadilah sebuah puisi yang dihasilkan 3 "penyair" muda yang benar-benar berbakat menjadi penyair. Puisi tentang hujan, pujangga, dan sesosok perempuan bernama Aisyah. Karya ini dihasilkan oleh Andik, Bobi, dan Toni. Puisi dimulai oleh torehan pena Andik, disambung Bobi, dan fnishing oleh Toni.

Maklum anak muda, cerita yang diusung seputaran cinta dan kerinduan. Namun bukankah hal ini pun layak dikonsumsi kaum tua juga. Menurut saya, alur dari puisi bersambung ini bagus, menyentuh, dan dengan diksi yang terjaga. Atas izin mereka bertiga, puisi ini saya posting di abufadli.com.

Dan, puisi ini takkan saya ulas. Biarlah Anda sebagai pembaca, membuat simpulan sendiri. Selamat membaca dan merenungi maknanya.



Hujan, Kata-kata Pujangga, dan Aisyah

Entah di bilangan mana

Rintik hujan menyatu dengan airmata
Isaknya pecah terbentur hati bersengketa

Sementara gerimis masih saja menarikan tarian asa
Di antara genangan yang basah, Lantunan ayat sang Surya memudar tanpa tercegah

Perihal angin yang mendengus dengan kesal

Mengumpat segenap pasal yang di suguhkan oleh muasal

Dedaunan resah, Bilakah angin menutup mata

Sesat pada dingin yang purba, Menepis hujan di setiap patahan rasa

Langit mengelabu dengan cepat

Hitam memekat bagai rayuan rindu paling laknat
Sementara kilat tak henti meneriaki bumi

Akankah badai merupa diri?

Menghukum hari yang kini tak lebih dari kepingan tanpa arti
Sekali lagi, Aku hanya mampu berdiri

Menyaksikan hujan menggenapi elegi
Entah angin ataukah badai
Hujan ini terlalu pasai untuk usai

Biarlah dedaunan tercerai berai, Dan gerimis menggenapi sangsai di laci hati yang tak lagi menyurati andai

Dan begitulah hujan berhenti seketika

Genangan basah itu masih meriakan tarian hati kecil kita
Sedangkan desau angin telah hilang, Entah kemana
Hanya dingin yang masih setia

Masih mendekap gigil yang tertinggal di setiap tetes airmata 

Ah Aisyah
Seandainya saja medan pertempuran masih seperti dulu
Masih membangkaikan rindu
Menuntut upeti dari nafas para serdadu
Lalu jasad-jasad cinta bergelimpangan
Berlumur darah pengkhianatan

Tapi kau tak jua menghilang
Hanya terdiam menyaksikan airmata menggenangi kenangan
Tak ada kemenangan

Aku pulang...!!!
Tanpa tau siapa diriku, Sekarang
Perihal tangan kekasih yang kau gandeng di sepanjang Jambore Sastra

Aku ini bukan penyair, Apalagi pujangga
Kata-kataku tak lebih dari aksara gila
Netraku buta akan sastra juga bahasa
Entah di bait mana, Oh kekasih hilang bersama metafora

Mega-mega satire menyeruak bagai sihir paling sindir
Dan aku mengkafir di antara sajak-sajak kenthir si pandir
Mungkin engkau memang benar
Tentang dekap cemburu yang mengangkara

Secangkir kopi begitu ligat mengikat saraf kepada setiap sayat isyarat

Lelapku bersyarat
Mimpi menggumpal bagai seonggok mayat
Sementara dunia memparodikan filantropi dengan keji
Menjual diksi hati demi sekeping ambisi

Sketsaku menyisakan warna paling mati
Katakan kepadaku Aisyah
Di mana kebahagiaan menyembunyikan ayat-ayatnya?
Jika suara jangkrik tak lagi membisikkan puisi tentang aku dan kau

Untuk Aisyah
Tetes hujan gerimis
Sebanyak rasa ini yang begitu merindu mu,

Di gelap yang begitu pekat,
Ku masih sangat berharap akan datang sebuah mukjizat...

Pernahkah engkau pahami
Mengapa angin teramat dingin menatap ingin?
Sementara remang tersesat bersama rembulan

Nur purnama berpayung kelabunya gemawan
Malam yang ini terlalu naif untuk diartikan
Adalah gamang yang terpaku kepada diam

Di antara heningnya perawan, Aku perlahan-lahan menghilang
Karena cinta yang entah apa?
Engkau memang benar
Tentang kabut yang melamurkan asa

Netra membatas rupa
Basah pada rasa yang belum lagi purna
Hey, tapi tunggu dulu..!!

Bukankah embun di lahirkan dari rahim kalbu?

Sedangkan cinta itu, Aaaah sudahlah hati sudah remuk bagai melihatmu dengan dia bahagia sedangkan aku bermandi hujan

Teruntuk kamu
Aku bisa apa?
Jika rasa mengunci hati pada sebuah nama
Meski aku tak percaya pada cinta itu maya

Namun di matamu kutemukan rumah
Tempatku berpulang pada keabadian rasa
Mungkin engkau menganggap aku gila
\Ya aku memang sudah gila..!!

Tergila-gila pada binar di balik teduh netramu menyiratkan sejuta makna
Tentang gelapku yang menghela nafas usia
Tentang remangmu yang menuntunku kepada cahaya

Katakan kepadaku, Aku bisa apa?
Untuk mencegahnya purna di dalam jiwa
Apakah kau hanya singgah atau sungguh pada asa dan rasa
Aaaah sudahlah kekasih, sadarilah jika cinta ini maya

Bandung, Cianjur, dan Jakarta
Malam 1 Agustus 2021 pukul 20.00-21.00
Deni Kurnia
Deni Kurnia Seorang Pembelajar, tak Lebih