Nikah Muda, antara Sunnah, Tren, dan Realita Kematangan


Nikah muda, why not? Begitulah kira-kira kata yang dituliskan pasangan muda yang memutuskan merenda rumah tangga sedari muda. Menjalankan salah satu sunnah untuk melanjutkan generasi, ditapaki bersama dalam bingkai rumah tangga.

Namun nikah muda tentu menyisakan hal-hal yang mesti dipertimbangkan sebelum melaksanakannya. Banyak sisi yang harus dicermati, agar rumah tangga yang dibangun benar-benar berorientasi kepada melahirkan generasi yang melanjutkan tegaknya kehidupan Islami.

Harus diakui, ada ketidakseimbangan informasi bila berbicara nikah muda. Tentu tujuan yang menyampaikan bahwa nikah mudah; indah, indah dan indah adalah hal yang baik. Kemungkinan ia khawatir dengan pergaulan anak muda sekarang, untuk menjauhkan mereka dari bahaya pacaran dan fitnah zina.

Disampaikan bahwa nikah muda itu merupakan anjuran dari Rasulullah. Ini benar. Merupakan sunnah yang harus ditaati. Ini benar.

Namun bila mewajibkan dan membabi buta bahwa, nikah mudah itu harus dilaksanakan. Inilah yang agaknya mesti kita kunyah-kunyah dulu.

Benar adanya bila para sahabat dan sahabiyah itu kebanyakan menikah muda. Tapi mesti kita perhatikan dengan realitas sosial yang ada. Bahwa mereka itu menikah, bukan karena muda saja, melainkan juga sudah matang dalam iman, prinsip dan visi.

Kita harus menyadari secara kompleks bahwasanya para sahabat menikah di usia belia bukanlah tentang masalah usia saja. Melainkan sebuah kematangan diri. Mereka terbentuk dan dibentuk dalam lingkungan Islam yang kaffah dan mendapatkan keilmuan yang begitu dalam. Sehingga mereka menjadi cepat dewasa dalam berpikir dan bertindak.

Menikahnya mereka di usia belasan itu bukan perencanaan yang tiba-tiba. Melainkan sudah diprogramkan orang tua dan lingkungannya sejak mereka masih belia.

Beda dengan kita yang hari ini menjadikan nikah muda itu sebatas trend. Di satu sisi merupakan hal yang positif ketika kebaikan menjadi trend, namun di sisi lain kita mesti menyampaikan bahwa Islam itu dijalankan bukan karena trend namun karena keimanan yang bersemayam di dada.

Kita berharap menikah itu bukan sebatas keinginan seksual melainkan juga hasrat membangun tatanan masyarakat sosial yang berperadaban. Ketika rumah bercahaya, maka lingkungan itu akan bercahaya.

Saya teringat nasihat atau himbauan Dr Majid Irsan Al Kirani dalam bukunya (Model Kebangkitan Islam:2019 cet II) “Kepada segenap kaum laki-laki dan wanita dari umat ini, agar memahami sunnatullah az-zaujiyyah (berpasangan) yang mengatur hubungan dua jenis kelamin dengan asas saling melengkapi antara prinsip akhlak dan estetika. 

Mengabaikan sunnatullah ini akan berakibat pada munculnya kekacauan dan guncangan dalam hubungan tersebut, dan akan mengubah jerih payah pasangan suami istri menjadi amal yang tidak shalih, yang mengakibatkan terjadinya kemandulan sosial dan kesempitan Hidup.”

Bila menikah diniatkan karena Allah, dilandasi dengan ilmu, dan diarahkan oleh visi hasilnya akan dahsyat. Lihatlah bagaimana seorang manusia biasa, menjadi dimuliakan Allah berkat keluarga.

Dalam Al-Qur’an hanya ada dua nama manusia biasa yang Allah abadikan menjadi nama surah. Al-Imran dan Luqman. Saat Allah mengabadikan sesuatu, tentu karena ada hal yang istimewa.

Keluarga Imran menjadi model ideal keluarga muslim. Bersama istrinya: Hannah ia mampu melahirkan keturunan-keturunan yang mulia. Melahirkan Maryam sebagai wanita yang Allah sucikan, dan dari rahim sucinya Maryam lahir seorang Nabi yang bernama Isa As.

Begitu juga bila kita lihat pahlawan-pahlawan Islam, hampir bisa dikatakan semua mereka itu tercipta dari keluarga yang di naungi cahaya-Nya.

Realita Kekinian

Sementara hari ini wanita-wanita muslimah seakan mandul dalam melahirkan pahlawan dan pembaharu agama ini. Apa sebab, tidak ada visi dalam pernikahan. Hari ini menikah hanya sebatas status saja, tugas peran suami ia tidak mengerti.

Apa itu hak dan kewajiban istri ia tidak paham. Sehingga hari ini kita melihat para generasi ini, cepat tumbuh dan berkembang fisiknya namun lambat kedewasaan berpikirnya.

Tidak bisa pula untuk kita sangkal, bahwa hancurnya lingkungan hari ini, maraknya kriminalitas di tingkatan generasi muda, merupakan buah dari tidak berhasilnya pendidikan dan penanaman akhlak di dalam rumah. Padahal idealnya, generasi muda itu adalah ujung tombak peradaban. Bahkan Islam sendiri dibangun dan diperjuangkan anak-anak muda.

Sungguh sangat menyedihkan. Saat agama hanya dijadikan sebagai ritual. Belakangan ini ada kebiasaan baru yang membudaya di masyarakat. Yaitu tentang pre wedding; berpoto sebelum menikah. Mirisnya potonya bukan sekadar poto. Melainkan poto-poto mesra, berpelukan bahkan mohon maaf beradegan layaknya suami istri. Naudzubillah Min Dzalik.

Seakan status sah setelah akad nikah itu hanyalah sebatas pelengkap administrasi saja. Lain halnya lagi, saat resepsi pernikahan semacam berlomba-lomba untuk mendatangkan penyanyi (biduan) yang seksi. Padahal ini pernikahan. Kita berdoa agar pernikahan itu di berkahi Allah, sementara di saat yang sama kita mengerjakan hal yang begitu Dia benci.

Kita sungguh khawatir bila Allah tidak memberikan keberkahan untuk keluarga. Karena keberkahan ini nanti akan berdampak pada masyarakat dan negara. Jangan-jangan kesempitan hidup yang kita alami dalam berbangsa dan bernegara saat ini, pangkalnya dari keluarga yang tidak diberkahi. Naudzubillahi min Dzalik.

Bacaan Parenting 

Deni Kurnia
Deni Kurnia Seorang Pembelajar, tak Lebih