Ilmu Rasa, Ilmu yang Kenikmatannya Tak Bisa Diceritakan
Dalam nasihatnya, Hujjatu al-Islam, Imam al-Ghazali, menjelaskan ada ilmu yang tidak bisa diceritakan, dan tidak mungkin diungkapkan dengan kata-kata, karena ilmu ini terkait dengan rasa
Seperti kenikmatan minum kopi, masakan, atau kepuasan biologis, tidak bisa digambarkan dengan kata. Kalau pun bisa, tidak akan sama, bahkan mendekati sama pun tidak. Itulah Ilmu Rasa. Ilmu tentang kenikmatan (ladzah)
Begitu juga kenikmatan ibadah, shalat Rawatib, Shalat Malam, Membaca dan Menghayati al-Qur'an, atau dzikir dan wirid, yang hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang melakukan dan merasakannya
Kenikmatan dakwah, mengajar dan mencari ilmu, tidak akan bisa digambarkan dengan kata-kata. Kenikmatan itu hanya bisa dirasakan oleh orang yang melakukannya
Kisah wanita paling miskin di Gaza, yang ditemui Laurent Booth, yang begitu bahagia dan menikmati keterbatasan dan kemiskinannya itu bagian dari ilmu rasa.
Laurent yang saat itu masih belum memeluk Islam, sempat menyoal, "Mengapa kalian puasa? Untuk apa kalian puasa sebulan penuh? Bukankah kalian sudah terbiasa tidak makan dan hidup papa?"
Wanita itu menjawab, "Untuk bisa merasakan kesulitan dan kelaparan orang lain." Jawaban yang membuatnya tersentak. Bagaimana mungkin, orang yang paling miskin dan susah masih memikirkan kesulitan orang lain. Laurent seperti ditampar. Jawaban yang membuatnya tersengat, dan membuatnya memeluk Islam. Itulah ilmu rasa, tentang kenikmatan. Termasuk menikmati keputusan-Nya
Kenikmatan itu lahir karena keyakinan. Keyakinan itu melahirkan harapan, dan selalu husnudhan kepada Allah. Meski terkadang harus menghadapi berbagai ujian. Karena di balik ujian itu ada pemberian, kata Ibn Athaillah al-Iskandari.
Sebaliknya, di dalam pemberian itu justru ada bala' (ujian). Maka, orang yang yakin akan merasakan nikmatnya. Kenikmatan yang tidak mungkin diceritakan kepada orang yang tidak yakin
Begitulah, ilmu rasa. Maka, yakin, laksanakan dan nikmatilah. Di sana, Anda akan menemukan kenikmatan yang luar biasa.
Tulisan asli Kiayi Haji Hafidz Abdurrahman