Syarat safar yang menjadi sebab bolehnya menjamak shalat

Syarat safar yang menjadi sebab bolehnya menjamak shalat

Sebelum membahas mengenai Syarat safar yang menjadi sebab bolehnya menjamak shalat, ada baiknya kita memahami istilah-istilah yang digunakan. Safar, dalam bahasa Indonesia diartikan dengan perjalanan, sedangkan jama' atau jamak, adalah mengumpulkan dua waktu shalat, dilaksanakan di satu waktu. Yang boleh dijamak adalah dzuhur dengan Ashar, Maghrib dengan Isya. 

Menjamak dua waktu shalat merupakan keringanan (rukhshah) bagi hamba yang sedang melaksanakan safar tertentu. 

Lalu Syarat safar apa saja yang menjadi sebab bolehnya menjamak shalat? Dan bagaimana tata cara (kaifiyat) pelaksanaan Shalat yang dijamak? 

Untuk memberikan gambaran hal di atas, ada baiknya Anda baca penuturan DR. ALI ABU BASHAL, yang membahas masalah syarat safar yang menjadi sebab bolehnya shalat dijamak. Pembahasan ini ada dalam buku "Rukhshah dalam Shalat" terbitan Aqwam Media. 

Syarat safar yang menjadi sebab bolehnya menjamak shalat

Jumhur ulama, yakni para ulama mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali, menetapkan beberapa syarat safar yangmenjadi sebab sahnya menjamak shalat. Syarat-syarat itu adalah:

1. Safar yang jauh

Yakni safar yang membolehkan mengqashar shalat. Adapun safar yang dekat, para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan menjamak shalat di dalamnya. Di sini ada dua pendapat.

Pertama, boleh menjamak shalat dalam safar yang dekat. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Syafi'i. 

Dalil-dalil yang mereka jadikan hujjah adalah:

Penduduk Mekah menjamak shalat di Mekah dan Muzdalifah, padahal itu termasuk safar yang dekat.

Safar yang dekat itu sama dengan safar yang jauh; sama-sama membolehkan shalat sunah di atas kendaraan. Seharusnya demikian pula halnya dengan menjamak shalat. 

Kedua, hanya boleh menjamak shalat dalam safar yang jauh, yang membolehkan mengqashar shalat. Ini adalah pendapat para ulama mazhab Hambali, para ulama mazhab Syafi'i, dan sebagian ulama mazhab Maliki.

Dalil-dalilyang mereka jadikan hujjah adalah:

a. Ibnu Umar radhiyallahu anhu menyatakan bahwa apabila Nabi SAW dikejar waktu dalam safar, beliau menjamak antara Magrib dan Isya 

b. Jamak adalah melaksanakan ibadah di luar waktunya. Karenanya, jamak tidak dibolehkan dalam safar yang dekat seperti halnya tidak berpuasa (pada bulan Ramadhan).

c. Jamak adalah rukhsah yang ditetapkan untuk menepis berbagai kesulitan dalam safar. Karenanya, jamak dikhususkan untuk safar yang jauh seperti halnya qashar dan mengusap khuff selama tiga hari.

d. Dalil jamak ditetapkan berdasarkan praktik Nabi SAW . la adalah fenomena suatu objek sehingga hukumnya hanya ditetapkan untuk yang semisal dengannya. Tidak ada pula riwayat yang menyatakan bahwa Nabi menjamak shalat kecuali dalam safar yang jauh. 

Pendapat yang-menurut saya-lebih utama untuk diterima dan diikuti adalah pendapat jumhur ulama, bahwa tidak boleh menjamak shalat kecuali dalam safar yang jauh. Sebab, rukhsah diadakan untuk menepis kesulitan dalam ibadah, sedangkan safar yang dekat (secara umum) tidak menimbulkan kesulitan dalam ibadah. 

Qiyas pada menjamak shalat yang dilakukan penduduk Mekah di Arafah dan Muzdalifah tidaklah benar. Sebab, motif jamak mereka bukan karena safar, melainkan karena melaksanakan manasik. Wallahu a'lam.


2. Bukan safar yang makruh atau haram

Jamak adalah rukhsah; dan rukhsah tidak diperuntukkan bagi berbagai praktik kemaksiatan. 

An-Nawawi menulis: "Dan tidak diperbolehkan menjamak shalat dalam safar maksiat pada waktu Zuhur. "

3. Tujuan safar yang jelas

Safar seseorang tanpa tujuan yang jelas tidak dikategorikan sebagai sebab bolehnya menjamak shalat. Demikian pula dengan safarnya seseorang yang hanya menuruti pemimpinnya, sementara dia tidak tahu ke mana dia akan dibawa pergi. Ini sebelum dia mencapai jarak yang jauh. Jika dia telah melampaui jarak yang jauh maka dia boleh menjamak shalat karena jauhnya safar telah pasti.

Syarat menjamak shalat

Para ahli fikih mengklasifikasi jamak menjadi dua, yaitu (1) jamak taqdim, yakni mendirikan shalat yang kedua pada waktu shalat yang pertama dan (2) jamak ta'khir, yakni mendirikanshalatyang pertama pada waktu shalat yang kedua.

Para ahli fikih telah menetapkan beberapa syarat untuk keduanya, perinciannya sebagai berikut: 

Syarat-syarat jamak taqdim

1. Niat jamak

Tidak boleh menjamak shalat tanpa niat. Sebab, bisa saja seseorang mendirikan shalat Ashar pada waktu Zuhur secara tidak sengaja. Karenanya, harus ada niat jamak yang membedakan jamak taqdim yang masyru' (disyariatkan) dengan yang lain.

Mengenai waktu niat, ada dua pendapat. 

Pertama, harus diniatkan ketika memulai shalat yang pertama. Sebab, itu adalah niat untuk shalat jamak yang tidak boleh diakhirkan setelah takbiratul ihram seperti niat shalat dan niat qashar. 

Kedua, boleh diniatkan sebelum selesainya shalat yang pertama, dari sejak awalnya hingga salam. Kapan pun dia berniat, itu cukup baginya. Sebab, waktu jamak adalah antara selesainya shalat yang pertama hingga dimulainya shalat yang kedua. Selama niat belum terlambat dari waktu itu maka itu pun cukup.

2. Tertib

Maksudnya, shalat yang pertama harus didirikan terlebih dahulu kemudian mendirikan yang kedua. Sebab, waktu yang dipakai adalah waktu shalat yang pertama. Shalat yang kedua dilaksanakan mengikuti shalat yang pertama. Karenanya, yang diikuti harus didahulukan.

Seandainya ada  
yang mendahulukan shalat yang kedua maka shalatnya tidak sah dan wajib mengulang selesainya pelaksanaan Shalat yang pertama. 

Seandainya telah mendahulukan shalat yang pertama kemudian mendirikan shalat yang kedua; tetapi belakangan diketahui bahwa shalat yang pertama rusak, maka rusak pulas halat yang kedua. 

3. Muwalat atau beruntun

Yakni tidak memisah antara keduanya. Dasarnya adalah karena keduanya seperti satu shalat. Jadi, tidak boleh dipisahkan: seperti tidak boleh dipisahkannya rakaat-rakaat shalat. Jika dipisahkan dengan waktu yang panjang maka jamak pun batal jika dipisahkan dengan waktu yang pendek, seperti waktu untuk wudhu, misalnya maka hal itu tidak mengapa. Parameternya adalah 'urf (kebiasaan).

Jika terpisahkan oleh waktu yang panjang maka shalat yang kedua tidak sah lagi dikumpulkan dengan shalat yang pertama. Shalat yang kedua harus diakhirkan (didirikan) pada waktunya. Sama saja apakah lamanya waktu yang memisahkan itu dikarenakan uzur seperti lupa atau pingsan atau karena yang selain uzur.

Bagaimana jika salah satu rukun shalat terlupakan? 

Seseorang menjamak shalat. Setelah selesai, dia teringat bahwa dia telah meninggalkan salah satu rukun pada shalat yang pertama. 

Jika benar demikian maka kedua shalatnya batal dan dia harus mengulang keduanya. Tetapi, jika yang diingatnya itu adalah salah satu rukun pada shalat yang kedua: jika baru saja dia menyelesaikan shalatnya yang kedua itu maka hendaklah dia melengkapinya sehingga kedua shalatnya pun sah. 

Namun, jika teringatnya itu setelah berselang waktu yang cukup lama, shalatnya yang kedua menjadi batal. Dengan demikian dia harus mengulang shalatnya yang kedua itu pada waktunya. 

Adapun jika dia tidak mengetahui, dari shalat yang mana salah satu rukun tersebut ditinggalkannya maka dia wajib mengulang kedua shalatnya. Sebab, mungkin saja yang ditinggalkannya itu adalah dari rukun shalat yang pertama sehingga jamaknya menjadi tidak benar. 

4.Adanya uzur 

Yaitu uzur yang membolehkan jamak ketika memulai shalat yang pertama, selesai darinya, dan ketika memulai shalat yang kedua. Jika uzur itu hilang pada salah satu dari ketiganya maka jamak tidak diperbolehkan.

Ada beberapa permasalahan yang perlu diperhatikan, yaitu: 

a. Jika hujan reda di tengah shalat yang pertama lalu turun lagi sebelum selesai; atau berhenti sama sekali setelah takbiratul ihram shalat yang kedua maka jamaknya sah. 

Hujan yang berhenti tidak berpengaruh. Sebab, uzur masih ada ketika berniat. Apalagi uzur itu ada pada waktu takbiratul ihram shalat yang kedua dan pada waktu menjamak shalat; yakni pada akhir shalat yang pertama dan awal shalat yang kedua. Ketiadaannya di luar waktu itu tidak menjadi masalah.

b. An-Nawawi menyatakan, "lika seseorang menjamak taqdim lalu di tengah-tengah pelaksanaan shalat yang pertama atau sebelum mendirikan shalat yang kedua, status orang itu berubah menjadi mukim dengan niat bermukim atau karena sampainya kapal ke kampung halaman maka jamaknya pun batal. Shalat yang kedua harus dikerjakan pada waktunya. Adapun shalat yang pertama tetap sah."

c. Jika statusnya berubah menjadi mukim di tengah-tengah pelaksanaan shalatnya yang kedua atau seusai shalat kedua maka jamaknya tidak batal. 

Syarat-syarat jamak ta'khir

1. Niat ta'khir

Yang demikian itu karena penundaan shalat bisa dikarenakan jamak ta'khir dan bisa dikarenakan yang lain. Jadi, harus ada niat untuk membedakan ta'khir yang disyariatkan dari yang lain.

Niat itu harus ada sebelum waktu shalat yang pertama habis. Jika waktu Zuhur, misalnya, terlanjur habis, padahal dia belum berniat akan menjamaknya dengan shalat Ashar secara ta'khir maka dia mempunyai tanggungan shalat Zuhur yang harus dikerjakannya secara qadha'. Dan dia berdosa atas penundaannya. 

2. Tetap ada uzur sampai masuknya waktu shalat yang kedua

Tidak disyaratkan uzur tersebut ada sampai habisnya waktu shalat yang kedua. Sebab, shalat pertama dikerjakan di luar waktunya dan boleh diakhirkan. Pun kedua shalat tidak harus bersambung karena shalat yang kedua dikerjakan pada waktunya. Bagaimanapun shalat yang kedua dikerjakan secara adaa', dan shalat pertama yang dikerjakan bersamanya seperti shalat yang tertinggal.

Dalam jamak ta'khir, tidak disyaratkan tertib, tidak pula niat untuk menjamak shalat ketika mengerjakannya.

Deni Kurnia
Deni Kurnia Seorang Pembelajar, tak Lebih